Jumat, 15 Juni 2012

Ringkasan Khotbah (Signifikansi Pengajaran Gereja: Liturgi & Ibadah)

Ringkasan Khotbah : 14 Mei 2004
Signifikansi Pengajaran Gereja: Liturgi & Ibadah
Nats: Rm. 12: 1-2, 1 Kor. 14: 40
Pengkhotbah : Pdt. Sutjipto Subeno

Di satu pihak, hari ini banyak sekali orang Kristen yang tidak pernah mau belajar dengan baik tetapi berani berkomentar macam-macam dan salah satunya adalah ber­kenaan dengan liturgi. Mereka tidak pernah baca buku dan belajar apapun mengenai liturgi tetapi mereka berani berkata kalau liturgi tidak diperlukan. Mereka pikir diri mereka cukup pintar tapi malah bersikap bodoh sekali. Sebuah liturgi mengandung banyak elemen yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah kebaktian, dan kebaktian itu sendiri merupakan salah satu bagian yang penting di dalam ibadah seseorang.
Tetapi di pihak lain, ada sedikit orang yang belajar dan mengerti apa pentingnya liturgi tetapi mereka tetap tidak mau memakai liturgi karena memang secara esensial mereka tidak suka. Orang-orang yang termasuk dalam golongan ini adalah para teolog postmodern. Seorang teolog postmodern percaya bahwa tidak ada unsur kebenaran mutlak di dalam kekristenan sehingga kebaktian tidak lebih dari salah satu variasi hidup kita seperti waktu bekerja, pacaran, dll. Kalau kebaktian ditata terlalu formal itu berarti di dalamnya ada unsur kebenaran yang harus ditaati oleh semua orang, padahal inilah yang berlawanan dengan prinsip postmodern.
Apa yang mereka sebut sebagai agama sebenarnya juga bukanlah agama karena syarat sebuah agama ada 3, yaitu: ada Tuhan, kitab suci, dan pengikutnya. Ketiga syarat ini semuanya tidak pedulikan oleh orang postmodern karena walaupun mereka tahu Yesus dan Alkitab tetapi mereka sebagai pengikutnya tidak mempercayai ajaran Yesus dan semua yang tertulis di dalam Alkitab sebagai kebenaran mutlak. Jadi bagi orang postmodern agama bukan iman yang paling mendasar untuk menentukan segala sesuatu tetapi hanya sekedar permainan filsafat manusia yang mencoba untuk mem­permainkan agama. Akibatnya, orang seperti ini bisa merusak tatanan gereja.
Perikop yang kita baca pada hari ini mengatakan dengan jelas kepada kita bagai­mana beribadah yang baik. Melalui Roma 12:1-2, Paulus menasehati agar kita mem­persembah­kan seluruh hidup kita kepada Allah. Artinya, Paulus ingin agar kita selalu memusatkan seluruh hidup kita untuk kembali kepada Allah yang sejati. Bahkan di dalam bahasa Ibrani, kata “ibadah” dapat diartikan sebagai suatu sikap hidup untuk menundukkan diri dan hati kita (to bow down) di hadapan Tuhan. Jadi bagi orang Kristen, hal ber­ibadah bukanlah sekedar hari minggu kebaktian tetapi seharusnya juga mencakup seluruh hidup kita setiap harinya, bahkan setiap detiknya sehingga tubuh kita akan men­­jadi tempat di mana Allah akan bekerja. Tetapi masalahnya pada hari ini adalah bagaimana ibadah yang seperti itu dikaitkan dengan waktu kebaktian kita.
Kenapa hari minggu kita melakukan kebaktian? Kita melakukan kebaktian bukan bertujuan untuk mendengarkan Firman karena kebaktian berbeda dengan STRIS (sekolah teologi).  Tujuan kita melakukan kebaktian dapat kita lihat dari kata dasar dari kata itu sendiri, yaitu “bakti” sehingga, kebaktian adalah waktu untuk kita berbakti (worship). Jadi, kalau sejak kedatangan kita ke gereja sama sekali tidak ada konsep, sikap, dan perilaku seperti seharusnya, maka sebenarnya kita belum berbakti! Mana buktinya kalau kita berbakti? Kita memang datang dan ikut dalam kebaktian, tetapi semuanya itu kita lakukan secara sembarangan. Kita tidak pernah mengabdi kepada Tuhan! Bayangkan kalau kita ingin berbakti kepada orang tua tetapi kita me­laku­kannya dengan sembarangan, apakah orang tua kita akan menganggap kita sudah berbakti?
Adanya kebaktian pada hari minggu juga bukan berfungsi untuk menyegarkan diri kita setelah sibuk selama 6 hari sebelumnya. Kebaktian minggu bukan seperti sebuah knalpot mesin, yaitu sebagai saluran pembuangan. Justru terbalik, kebaktian minggu seharusnya menjadi tempat kita untuk menerima Firman Tuhan dan kemudian menjalankan Firman itu di tempat kerja kita. jadi tempat kerja kitalah yang menjadi knalpot, bukan gereja. Banyak hamba Tuhan yang berpikir semacam itu sehingga jangan heran kalau gereja-gereja di sekitar kita agak mirip diskotik atau night club. Mereka takut kalau kebaktian kurang “menghibur” dan “menyegarkan” akan me­nye­babkan jemaat lari.
Di dalam liturgi kita dapat melihat urutan-urutan tertentu mulai dari votum hingga pengutusan, tetapi apakah kita mengerti kenapa urutannya harus seperti itu? Apa maknanya? Urutan pertama adalah votum, yaitu seperti sebuah proklamasi kita berdasarkan apa kebaktian pada saat itu ditegakkan. Biasanya votum dikutip dari ayat Alkitab yang memberikan suatu keyakinan dan dasar untuk beribadah, masuk ke rumah Tuhan dengan pengertian betapa baiknya Allah. Kemudian untuk menyambut votum, biasanya kita akan menaikkan pujian yang bersifat vertikal sehingga itu akan mengarahkan diri kita untuk memandang kepada Tuhan, misalnya: lagu Suci Suci Suci, dll. Setelah pujian selesai baru kita berdoa pembukaan.
Ketiga langkah persiapan di atas membuat kita datang ke hadirat Tuhan dengan hati yang hormat dan siap untuk beribadah, tetapi sebaliknya oleh gereja-gereja yang mirip night club atau diskotik, votum seperti itu akan ditiadakan dan langsung menyanyi lagu-lagu yang menghibur, riang, atau ceria. Sikap yang diberikan jauh ber­beda dari yang seharusnya, jemaatnya langsung kembali berpikir ke dunia, mencari kesenangan diri sendiri, begitu hedonis. dari sekedar persiapan saja kita sudah tahu mana gereja yang benar dan mana gereja yang rusak. Liturgi bukan asal dibuat tetapi itu sudah dipikirkan sepanjang 200 tahun. Kita bisa melihat gereja-gereja yang berasal dari arus utama baik itu katolik maupun protestan, garis utama liturginya pasti sama (walaupun ada variasinya) karena kalau orang belajar, pasti tahu kenapa urutannya harus seperti itu!
Setelah langkah persiapan selesai kita masuk ke dalam komunikasi 2 arah di dalam ibadah, bagaimana kita berbakti dan Tuhan berbicara kepada kita. Pada bagian ini terdapat 3 bagian, yaitu: pujian, doa pengakuan dosa dan doa syafaat, serta pem­beritaan Firman Tuhan. Pujian bukan sekedar menyanyi untuk bersenang-senang tetapi lagu yang kita nyanyikan juga membawa kita kembali melihat kebaikan Tuhan atas kita. Setelah itu kita mengakui bahwa kita adalah manusia berdosa yang bergantung mutlak pada anugerah Tuhan. Kita juga berdoa bagi orang lain sehingga kita tidak egois tetapi peka terhadap isi hati Tuhan. Apa yang diinginkan oleh Tuhan, itulah yang juga menjadi keinginan kita. Selesai berdoa, baru kita mendengarkan Tuhan bersabda melalui hamba-Nya. Firman-Nya menyatakan kebenaran-Nya.
Bagian ketiga merupakan respon kita atas bagian sebelumnya. Setelah Firman Tuhan disampaikan kita melakukan pengakuan iman, persembahan, doksologi dan pengutusan. Pengakuan iman merupakan respon pertama kita setelah iman kita dikuat­kan oleh kebenaran Firman Tuhan. Selanjutnya, kita memberikan persembahan sebagai tanda ucapan syukur kita karena Tuhan sudah menganugerahi dan memberkati kita. Jadi persembahan itu bukan iuran wajib hanya karena kantong diedarkan tetapi itu hanya untuk mempermudah dan mempercepat proses persembahan, yang penting hati kita bersyukur atau tidak.
Kemudian, seluruh kebaktian kita ditutup dengan doksologi, yaitu kalimat penyembahan terhadap Allah Tritunggal, menaikkan kembali hati kita dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan dan disertai dengan komitmen hidup untuk me­muliakan Dia. Setelah itu, baru hamba Tuhan memberikan berkat dan mengutus kita untuk menjadi saksi yang memuliakan nama-Nya di manapun kita berada dari sekarang sampai selama-lamanya. Dari penjelasan singkat ini kita melihat bahwa setiap urutan ada maknanya dan tidak bisa dibolak-balik karena satu dengan yang lainnya saling terkait. Untuk apa semuanya itu? Supaya kita bisa beribadah kepada Tuhan dengan lebih baik.
Masalah Doa Bapa Kami, gereja kita sengaja meletakkannya di akhir doa syafaat demi untuk mengingatkan dan melandasi seluruh doa syafaat kita sehingga doa-doa tersebut tidak menyeleweng dari pola doa yang benar, yaitu: Doa Bapa Kami. Doa Bapa Kami tidak bersifat wajib, apalagi bagi orang-orang yang sudah ahli berdoa karena doa tersebut memang berfungsi sebagai pola dasar bagi kita. Kalau kita  sudah mengerti betapa pentingnya liturgi dalam kebaktian, maka sekarang kita mempunyai kewajiban untuk menyadarkan orang Kristen lain yang belum mengerti sehingga mereka tidak berpikir kalau liturgi itu merepotkan.
Masalah persembahan tidak dibahas di dalam Perjanjian Baru karena di situ Tuhan memang tidak meminta 10% tetapi 100%. Kenapa perlu per­sembahan? Tuhan bukannya minta-minta karena butuh uang dari kita tetapi Tuhan punyai cara kerja sendiri, yaitu Tuhan ingin agar rumah-Nya dipelihara oleh umat-Nya sendiri dan dari situ Tuhan akan memberkati mereka. Jadi Tuhan terlebih dahulu memberkati mereka sehingga mereka pasti cukup untuk bisa memberikan per­sem­bahan bagi pemeliharaan rumah-Nya. Kalau Tuhan ingin kita mengerjakan sesuatu, tidak mungkin Dia tidak memberikan kapasitas yang cukup sehingga kita bisa mengerja­kan pekerjaan itu.
Sedangkan mengenai perpuluhan, melalui itu Tuhan ingin mengingatkan kepada kita bahwa 10% itu hanyalah bagian terkecil dari berkat Tuhan yang kita berikan kembali sedangkan yang 90% kita makan sendiri. Kita harus sadar itu sehingga kita tidak bersikap licik kepada Tuhan, pura-pura mau memberi perpuluhan lebih lalu minta Tuhan menaikkan gaji. Yang benar adalah kalau memang Tuhan memberikan lebih banyak, seharusnya persentase pemberiaan kita juga bertambah banyak. Jadi pada hari ini kita ditantang berapa persen yang berani kita berikan, bukan jumlahnya. 2 peser itu jumlah yang kecil tetapi itu 100% (upah sehari).
Bagaimana sikap hati kita sewaktu beribadah itu jauh lebih penting daripada kita sekedar action belaka karena sikap hati yang benar nantinya akan membuat seluruh tatanan hidup kita juga menjadi benar. Walaupun mungkin di masa depan kita bisa mengikuti kebaktian dari rumah melalui televisi sambil tiduran dan makan camilan, itu tetap bukan kebaktian karena di situ tidak ada unsur berbakti sehingga tidak mungkin kita bisa mengikuti kebaktian dengan benar. Televisi memang bisa membuat kita hemat uang dan waktu, tetapi televisi juga bisa membuat esensi ibadah kita menjadi hilang. Semoga melalui pembinaan pada hari ini kita bisa bersikap lebih tepat kepada Tuhan maupun kepada dunia. Amin.
 

Diposting OLeh : eki kawamasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar