Jumat, 15 Juni 2012

Ringkasan Khotbah (The Exclusive Family )

Ringkasan Khotbah : 21 Januari 2001
The Exclusive Family
Nats : Efesus 5:31-33; Kej 2:24; Mat 19:5
Pengkhotbah : Rev. Sutjipto Subeno
 
Saat ini kita masuk dalam bagian terakhir dari Efesus 5:22-33 dimana se­luruh apa yang menjadi prinsip yang ditegakkan oleh Paulus diringkas. Da­lam ay. 31 dika­ta­kan: “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibu­­nya, dan bersatu dengan is­te­rinya, dan keduanya itu menjadi satu daging.” Apa yang dimengerti dengan ini? Paulus menyebutnya sebagai satu rahasia be­sar yang dibuka. Disebut rahasia besar, ka­­­­rena pernikahan yang menuntut se­orang pria lepas dari ayah dan ibunya, bersatu de­ngan isterinya, merupakan gam­baran bagaimana Kristus bersatu dengan jemaat. Dan ba­­­ru dari kalimat ini­lah muncul seluruh konklusi semua pembahasan di Efesus 5 yaitu, “Ka­sihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya.” Ke­­tika seseorang memba­yang­kan apa yang diungkapkan di Kej 2:24, itu bukan ber­arti sa­at itu Adam juga me­mi­liki orang tua (karena Adam dan Hawa menjadi orang pertama yang dicipta), tetapi kalimat tersebut harus dinyatakan disana ka­rena melukiskan hubungan antara Kristus dengan  je­maat.
Ketika dikatakan “Laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibu­nya dan ber­­sa­tu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu da­ging,” disini akan tim­bul be­berapa hal: 1). Yang ditekankan Alkitab adalah pria, karena sudah diasumsikan wa­nita akan meninggalkan orang tua ketika me­ni­kah (dalam budaya maupun Alkitab, wa­ni­ta tunduk dan mengikuti pria). Per­ni­kahan tidak per­nah menggambarkan satu bentuk yang ter­bu­ka total (in­klusif). Bah­kan dalam Yoh 17, kita juga melihat cara Tuhan Yesus ber­doa yang eks­klu­sif, yaitu hubungan Kristus dengan umatNya. Ma­ka dalam relasi per­ni­kahan, pria dan wa­­nita harus terpisah dan di­le­pas­kan dari semua bentuk ikatan lain­nya yang ada sehingga membentuk satu relasi yang eksklusif antara satu pria de­ngan sa­tu wanita.
Gambaran dalam Ef 5:31-32 seringkali dianggap bukan untuk hu­bung­an ke­luarga riil, tetapi hanya sebagai figurasi untuk menceritakan hubungan antara Kristus de­ngan jemaat. Maka seolah ide di dalam ayat 31 bisa ditiadakan dan yang penting ada­lah pembicaraan mengenai relasi jemaat dengan Kristus. Di­sini ada beberapa dam­pak dari hal diatas: pertama, struktur representasi men­jadi terbalik apabila hal seorang me­nikah dijadikan contoh hubungan Kristus de­ngan jemaat, karena seharusnya hu­bung­an Kristus dengan jemaat yang harus di­aplikasikan di dalam hubungan suami-isteri. Kedua, relasi Kristus dengan je­maat sering dilihat hanya dalam aspek spiritual sa­ja dan bukannya keluarga se­ca­ra fisik. Ayat tersebut secara keseluruhan membicarakan ba­gai­mana suami be­re­lasi dengan isteri, maka ay. 32 tidak hanya dilihat dalam aspek spi­ritual te­tapi justru disitu Alkitab sedang benar-benar berbicara tentang relasi suami-istri. Dan seharusnya urusan spiritual yang turun ke wilayah fisikal yaitu rea­lita hidup per­ni­kah­an.
2). Gambaran dalam Ef 5:31 tidak boleh diekstrimkan bahwa mereka ha­rus menjadi musuh dari orang tua mereka. Rienecker memberikan satu penaf­sir­an bahwa hal itu seperti memutuskan ikatan-ikatan yang membelenggu se­be­lum­nya untuk dapat me­masuki ikatan baru dengan isterinya secara eksklusif dan penuh. Istilah “menjadi satu” menggunakan istilah “glue-ogether” (direkat ber­sama-sama). Berarti yang ingin di­nya­­takan dalam pemikiran ini: Satu ide yang konsisten di dalam seluruh pernikahan, yaitu bagaimana Kristus dengan je­maat berelasi secara ekslusif. Maka ketika saya me­ngi­kat diri dengan isteri saya secara eksklusif, itu harus mematahkan semua ikatan yang mengikat saya sebelumnya sehingga ia menjadi mandiri dalam memasuki ikatan yang baru. Karena ketika kita masih terikat dengan orang tua maka ikatan kita dengan isteri kita tidak akan pernah menjadi ikatan yang eksklusif dan eksklusifitas di da­lam hu­bungan pernikahan tidak akan terjadi. Jikalau ikatan terhadap orang tua yang diasum­si-kan paling dekat dengan kita harus dilepaskan, maka itu ber­arti menggambarkan bahwa semua bentuk ikatan/belenggu yang lain harus di­le­pas­kan lebih dahulu.
3). Seorang pria harus meninggalkan orang tuanya supaya tidak men­jadi penghambat perkembangan keluarganya.
Selanjutnya, jikalau kita tidak mampu melepaskan diri dari orang tua, ma­­ka akan menimbulkan dampak inklusif dalam keluarga: pertama, keluarga akan mengalami bias kebijaksanaan, sehingga salah satu atau kedua pasangan ter­sebut akan tertekan dan tidak bahagia. Seringkali orang tua merasa bahwa na­sehat mereka adalah yang pa­ling baik dan harus diturut, padahal kita harus sadar bahwa itu paling baik buat me­re­ka, tetapi tidak untuk keluarga anaknya. Se­bab di dalam setiap keluarga mempunyai ke­unik­kan tersendiri yang tidak sa­ma dengan keunikan kita. Hal kedua, orang tua se­ring­kali living in the past. Me­reka mencoba memaksakan apa yang dulu mereka lakukan, ke­pada anak me­reka, sehingga akhirnya berdampak negatif dalam rumah tangga anaknya.
Kedua, kita seringkali dibingungkan dengan istilah keluarga itu sen­diri. Ba­ha­sa Indonesia membedakan antara “keluarga dengan “keluarga besar,” na­mun da­lam prakteknya kita sulit membedakan antara keluarga dengan ke­luarga besar, ter­utama dalam budaya timur. Alkitab mencatat bahwa pemisahan di­lakukan un­tuk membentuk “glue-together.” Maka proses ini akan terhambat apa­bila pe­mi­sahan tidak dilakukan ka­re­na keluarga besar sangat rawan menga­lami interupsi dan intervensi dari pihak ketiga, dan akibatnya mereka tidak mampu men­jadi pengambil keputusan mutlak bersama. Ketiga, dalam tahap se-lan­jutnya akan terjadi krisis kepercayaan antar pasangan, yang ber­akibat fatal da­lam re­lasi keluarga. ketika suami-isteri sudah tidak dapat saling per­ca­ya, saat itu­lah ke­luarga tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi (walaupun mung­kin se­ca­ra fenomena masih bersama).
Maka setiap suami-isteri harus membangun eksklusifitas keluarga yang me­ru­pa­kan hal utama  harus ada, dan itu mengandung pengertian: 1). Kita ha­rus mem­prio­ri­tas­kan pertama dan utama pasangan kita. Di dalam relasi suami-isteri seharusnya kita perlu menghargai suami/isteri kita lebih di dalam prio­ritas relasi kita (prioritas yang ter­tinggi), dan prinsip ini seharusnya di­pe­lihara sejak hari pertama pernikahan. 2). Ketika kita mulai menjalankan relasi, kita harus menghargai setiap ke­pu­tus­an bersama, lebih dari keinginan orang lain terhadap keluarga kita. dan ketika suami atau isteri kita tidak menyetujui suatu hal, hal itu harus menjadi prioritas utama untuk kita dengarkan. 3). Disini kita juga harus lebih mempercayai suami atau isteri kita dari­pada orang tua atau­pun relasi yang lain.
Di dalam Alkitab jelas sekali dikatakan ba­gai­mana se­orang pria harus mengasihi isterinya seperti dirinya sendiri dan seorang wanita yang hen­daknya meng­hormati suaminya. Dan memang itulah yang akan men­jadi lem yang pa­ling rekat bagi relasi suami isteri, sehingga hubungan Kristus dan jemaat akan ter­­­pan­car di dalam keluarga tersebut. Sehingga pernikahan itu akan masuk ke­dalam ke­ba­ha­giaan yang sesungguhnya. Amin.?

Diposting OLeh : eki kawamasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar