Ringkasan Khotbah : 23 Januari 2004 |
|
||
The Call of the Youth:
God in My Social Life
|
|||
Nats: Dan 9: 1, 4-10
Pengkhotbah : Pdt. Sutjipto Subeno
|
|||
Pada zaman sekarang kita dapat melihat begitu
banyak orang kristen yang berada di dua ekstrim, dimana ekstrim yang satu
adalah sikap dan hidup yang kalang kabut dan ekstrim yang lainnya adalah
sebaliknya, yaitu sangat acuh tak acuh dan skeptik. Orang yang skeptik
adalah orang yang sama sekali tidak bereaksi dan tidak mau tahu dengan
keadaan dunia karena yang penting bagi dirinya cuma hidupnya sendiri.
Bagaimana dengan kita ? sebentar lagi kita akan menyambut Pemilu, bagaimana
sikap kita ? bagaimana pula seharusnya sikap kita ? Dunia memang tambah lama
tambah kacau dan absurd, tetapi apakah lantas kita boleh tidak ambil pusing
sama sekali dan hanya memikirkan saudara seiman saja ? Padahal kalau kita
pikirkan kembali, kita mau pikirkan atau tidak, kita tetap terkena
akibatnya.
Pada hari ini kita akan belajar bagaimana Tuhan
menjadi semakin nyata didalam hidup kita khususnya ketika kita berhubungan
dengan orang-orang yang ada disekeliling kita. Firman Tuhan yang kita baca
pada hari adalah isi daripada doa Daniel ketika bekerja di pemerintahan raja
Darius di negeri Babel. Dan doa inilah yang akan kita coba pelajari tentang
sikap Daniel ketika dia hidup di lingkungan yang sangat tidak nyaman bersama
dengan orang-orang liar dan juga panggilannya dihadapan Tuhan.
Secara manusia, doa Daniel adalah sesuatu hal
yang sangat tidak menguntungkan dan tidak cocok untuk kita lakukan karena
Daniel telah melewati begitu banyak kesulitan tetapi tidak ada satupun orang
Israel yang membantu dan mendukung dia kecuali tiga temannya. Bahkan ketika
Daniel menghadapi tantangan kematian, tidak ada satupun yang protes ataupun
sedih. Apakah mungkin orang Israel yang lain malah mentertawakan Daniel
karena dianggap sok suci ? Buktinya ketika raja Darius memerintahkan rakyat
untuk menyembah dia, tidak ada satupun yang dihukum karena “bandel” seperti
Daniel. Setelah itu, ketika karier Daniel menjadi sukses, dia tidak seperti
Esther yang mencari aman bagi dirinya sendiri. Dia tidak mengacuhkan
orang-orang yang dibawah. Dia tetap peduli terhadap orang lain. Inilah jiwa
Daniel. Daniel tidak pernah mengukur segala sesuatu dari segi kepentingan
dan keuntungan dirinya sendiri sehingga dia tidak lupa diri ketika sukses.
Kalimat yang keluar dari mulut Daniel
mengingatkan dirinya akan sejarah bangsa Israel dan kebaikan Allah hingga
Allah begitu murka dan menghukum bangsanya. Tetapi yang juga patut kita
kagumi adalah Daniel tidak marah kepada Allah tetapi justru sadar bahwa dia
dan bangsanya telah berdosa karena berulang kali memberontak. Padahal kalau
kita lihat ayat-ayat dibagian awal, kelihatan sekali bahwa kadar dosa dari
Daniel lebih kecil daripada orang-orang Israel yang sudah tidak peduli lagi
kepada Allah. Dia berusaha keras untuk tetap beriman dan tidak mau
menajiskan dirinya ketika semua orang merasa senang menajiskan diri mereka
masing-masing. Mungkin menurut penilaian banyak orang, Daniel pantas untuk
menyombongkan dirinya dan menyalahkan orang lain karena Allah yang sudah
menghukum bangsanya. Tetapi kenyataannya Daniel sama sekali tidak egois
seperti kebanyakan orang.
Ketika kita mengingat kembali kekacauan yang
terjadi di daerah Poso dan Ambon, salah satu kemungkinan hal itu terjadi
adalah Tuhan sedang menghukum orang-orang kristen yang ada disana karena
telah mempermainkan kekristenan dan hidup berantakan. Tetapi ditengah-tengah
kekacauan seperti itu, apakah tidak ada orang kristen yang baik ? pasti ada.
Mirip dengan kisah Habakuk dan bangsanya yang dihukum oleh Tuhan. Habakuk
adalah seorang yang baik dan setia tetapi dia tetap terkena hukuman Tuhan.
Kesimpulannya ketika hukuman Tuhan datang kepada lingkungan atau negara
kita, mungkin sekali kita berada di tengah-tengahnya. Sekarang
pertanyaannya, bagaimana sikap kita terhadap orang lain dan juga terhadap
Tuhan ? menyalahkan orang lain ? Pada hari ini kita dapat belajar beberapa
aspek dari doa yang dipanjatkan oleh Daniel.
Pertama, Daniel mengerti apa itu artinya menjadi
terang dan garam serta bagaimana mempraktekkan panggilan Tuhan tersebut.
Menjadi terang berarti memberikan radiasi atau pengaruh tanpa menggunakan
media apapun. Artinya, hanya dengan menjalani hidup secara jujur dan terbuka
kita dapat memancarkan terang Tuhan Yesus kepada orang disekitar kita.
Masalahnya adalah bagaimana hidup kita ? Bisakah orang-orang mengenal Tuhan
Yesus lewat keseharian kita ?
Jika terang lebih bersifat pasif maka garam
bersifat sangat aktif. Jika ada suatu sumber terang kita pasti dapat
mengetahuinya dengan mudah dan mungkin kita dapat menghindar diri, tetapi
berlawanan dengan garam. Dengan sangat mudah kita dapat mengidentifikasi
apakah sebuah masakan tersebut diberi garam atau tidak, tetapi kita tidak
bisa melihat garamnya dimana. Kita hanya bisa merasakannya dan kita tidak
bisa menghindari rasa asin tersebut. Beginilah seharusnya orang kristen.
Jika kita eksis atau tidak sama sekali tidak ada pengaruhnya, apakah kita
pantas disebut orang kristen ? Ketika Tuhan menyuruh kita untuk menjadi
garam tetapi kita sama sekali tidak asin, Tuhan pasti membuang dan menginjak
kita karena sudah tidak ada gunanya lagi. Kita tidak menjadi garam malah
menjadi pasir. Jadilah seperti Daniel. Daniel adalah seorang manusia biasa
tetapi manusia biasa itu bisa memberikan pengaruh yang sangat menentukan
mulai dari raja Nebukadnezar hingga raja Darius. Semua orang babel yang suka
maupun yang tidak suka harus memandang dia, inilah terang. Tetapi didalam
rumahnya dia begitu tulus dan rendah hati berdoa minta ampun bagi banyak
orang tanpa ada satu orangpun yang mengetahuinya, inilah garam.
Selain itu Daniel juga sama sekali tidak terikat
kepada harta, posisi, dan kekuasaan. Bayangkan apabila Tuhan mengabulkan doa
Daniel, apakah Daniel untung ? tidak tetapi malah rugi karena kariernya yang
begitu enak dibandingkan Yerusalem yang sudah hancur tinggal reruntuhan.
Berbeda dengan orang-orang zaman sekarang. Ketika dibawah, mereka
menyebarkan kasih dan rayuan palsu hingga mencium pantat orang hanya supaya
bisa naik ke atas. Tetapi setelah berada diatas, mereka menjadi lupa diri
hingga mengorbankan orang-orang yang telah mendukung ketika di bawah.
Bagaimana dengan kita ? sebagai orang kristen seharusnya kita lebih meniru
apa yang Daniel lakukan. Doa seperti yang Daniel lakukan bisa menjadi sulit
ataupun menjadi gampang. Gampang karena tidak perlu sekolah teologi terlebih
dahulu. Tetapi bisa menjadi sangat sulit apabila kita tidak mempunyai hati
seperti Daniel. Hati yang peka terhadap isi hati Tuhan. Hati yang tidak
egois tetapi mengerti panggilan sebagai anak Tuhan. Jangan malah menjadi
orang yang paling egois dari antara orang-orang yang egois. Jangan cuma
memikirkan karier, masa depan, prestasi diri sendiri tanpa peduli orang lain
bahkan hingga tega menghabisi orang lain untuk mencapai semua itu. Jika di
sekolah tidak ada mata pelajaran tentang rela berkorban, marilah kita
belajar rela berkorban dari Tuhan Yesus.
Kedua, Daniel mampu mengkaitkan antara hidupnya,
bangsanya, dan Tuhan secara nyata setiap harinya. Pikiran Daniel tidak
disempitkan oleh semangat nasionalisme belaka tetapi ketika dia berdoa dan
memandang ke arah Yerusalem, hal itulah yang senantiasa mengingatkan akan
visinya. Panggilan masyarakat tidak bisa timbul dengan tiba-tiba dan
mengerjakannya tanpa sebuah beban melainkan membutuhkan perjuangan dan
strategi. Itu sebabnya Daniel bisa berdoa secara konsisten setiap hari tiga
kali. Daniel mengingat akan panggilan dia sebagai anggota dari bangsa
Israel. Daniel tahu bagaimana menghadapkan dirinya beserta bangsanya
dihadapan Tuhan.
Gereja-gereja pada saat ini begitu ribut dengan
doa Yabes tanpa belajar baik-baik. Banyak orang kristen yang mau menerima
berkat melimpah seperti Yabes tanpa mau menerima penderitaan yang seperti
dialami oleh Yabes. Orang kristen zaman sekarang benar-benar kurang ajar,
hanya mau enaknya tanpa mau penderitaannya. Semua orang mau diberkati
sepuluh kali lipat seperti Ayub tetapi menolak fakta kalau anaknya mati
semua sampai masuk rumah sakit jiwa. Setiap hari hanya berdoa untuk mencari
kenikmatan dan keuntungan diri sendiri. Doa yang sejati adalah doa seperti
yang Tuhan Yesus ajarkan, yaitu doa Bapa Kami. Doa yang peka bagaimana
kerajaan Tuhan bisa digenapkan sehingga membuat setiap orang yang berdoa mau
taat penuh kepada kehendak Tuhan.
Setan sangat senang dan membutuhkan para
pemuda-pemudi karena kita masih muda dan kuat tetapi cukup mudah
dimanipulasi. Kalau begitu, kepada siapakah kita menyerahkan diri kita ?
Tuhan tidak pernah memanggil kita untuk menjadi orang yang egois tetapi
saling mengasihi. Selama kita hidup disebuah lingkungan didalam sebuah
negara, itu berarti kita terlibat didalamnya. Jika negara mengeluarkan
perintah baru, kita harus patuh karena kita memang terikat sebagai seorang
warga negara. Kita semua memang tidak perlu jadi politikus tetapi kita harus
tahu peranan kita sebagai warga negara. Terlebih lagi janganlah melihat
dunia politik sebatas mata dunia tetapi lihatlah dari sudut pandang apa yang
Tuhan ingin kita kerjakan. Ketika Daniel berdoa, dia tidak hanya berdoa bagi
orang lain tanpa dia ikut terlibat tetapi dia juga menjadi bagian dari
doanya. Dan ketika Daniel melibatkan dirinya, itu menjadikan dia mempunyai
beban yang besar terhadap masa depan bangsa Israel. Demikanlah seharusnya
kita. Apapun yang terjadi pada bangsa Indonesia seharusnya itu juga menjadi
beban untuk melihat panggilan Tuhan terhadap diri kita dan juga bangsa kita.
amin.
Diposting Oleh : eki kawamasi
|
Jumat, 15 Juni 2012
Ringkasan Khotbah (The Call of the Youth: God in My Social Life)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar